Sabtu, 10 Desember 2011

Papah untuk Mira


“Papah Untuk Mira”
Setiap orang pasti punya satu bahkan beberapa penyesalan atas apa yang dilakukan dihidupnya, dan lagi kenyataan yang harus diterima kadang penyesalan itu sama sekali tidak berguna dan mampu mengembalikan sesuatu.
Sore itu gadis berperawakan kecil duduk didepan rumahnya, ditemani sebuah buku dan semilir angin lembab dari udara Jakarta. Sesekali matanya menengok ke arah jendela, melihat sang ibu yang asik dengan mesin jahitnya. Memang tabiat seorang anak yang sangat manusiawi selalu balik menggerutu jika sang ibu menggerutu kepadanya. Langit mulai gelap, Mira sebut saja namanya masuk dan menghidupkan lampu luar. Kemudian dia kembali duduk diteras mungil itu, selintas melihat wajah ibu, dia kembali teringat masa kecilnya ketika dia digendong ibu ke puskesmas karena suhu badan yang tinggi. Air matanya menetes dengan ringannya, teringat perjuangan ibu yang semenjak kecil membanting tulang untuk dia dan seluruh kakak – kakaknya. Ingatannya langsung memutar kembali ke masa – masa kecil yang kadang bahagia dan pilu.
Ibu selalu datang malam, diantar ojek yang kian hari akrab dengannya karena sering ditumpangi. Suara bising motor mulai terdengar, dan Mira kecil bergegas menjauh dari jendela dan berpura – pura tidur menanti ibunya masuk kamar. “Mana Mira Don?” terdengar suara ibu Mardiyah menyapa kakak Mira. “Dikamar bu lagi tidur!” kak Dion yang tengah asyik dengan gitar kesayangannya. “Mira sayang” bu Mardiyah mengecup kening Mira dan memeluk hangat anak bungsunya itu. Mira kecil begitu bahagia, betapa rindunya dia pada sang ibu hingga terkadang dia merengek meminta Dion mengantarkan ke Jakarta yang dia sendiri tidak tau seberapa jauh jaraknya dari kota kecil itu. Pagi itu ibu Mardiyah membangunkan Mira kecil, didandaninya Mira hingga begitu manis dengan rambut kuda poninya. “Kita mau kemana bu?” Mira kecil bertanya dengan polosnya. “Kita mau jalan – jalan sayang”. Pagi itu hujan rintik – rintik membuat kota terlihat mendung, bu Mardiyah dan Mira berdiri dipojokan toko dipinggir jalan. Sosok pria berjaket kulit hitam dengan motor bebek langsung menghampiri, seketika Mira kecil terlihat bingung melihat ibunya yang bersalaman pada pria itu bak pada ayahnya yang dirumah, “De, ini papah ayo salaman dulu” bu Mardiyah berkata dengan tenang, Mira kecil tercengang dan hanya bisa diam ketika orang yang harus dipanggilnya papah itu mencium keningnya.
Karnaval yang cukup menyenangkan untuk anak kecil dengan sebuah harum manis yang dibelikan pria itu, begitu bahagia Mira ketika mereka menaiki sebuah kincir dan menonton acrobat motor. Malam sudah menjelang, hari yang indah untuk mira terlewatkan. Tiba mereka disebuah hotel yang sederhana, mungkin untuk kelas menengah. Mira kecil yang polos mempunyai rasa bingung “Kenapa gak pulang kerumah ya?, kenapa sama om ini terus?” “Mira kita bobo disini ya sama papah. Mira berada di tengah antara papah dan bu Mardiyah, Mira kecil sudah mengerti rupanya, dia tak ingin ibunya didekati pria tak dikenalnya. Namun seiring berjalannya waktu Mira mulai terbiasa dengan acara jalan – jalannya dengan pria yang kini disebutnya papah itu. Siang itu dirumah bu Mardiyah terdengar cekcok yang cukup dahsyat, Mira yang terlelap tidur segera dibangunkan ibu tercintanya, mereka pergi dengan tergesa – gesa. Ibu Mardiyah mengajaknya ke suatu rumah dimana orang – orang ramah ada didalamnya, seperti biasa papah datang dengan membawa sebuah dus panjang. “Mira” papah langsung masuk dan mencari – cari Mira kecil kesayangannya, “Mira ini hadiah buat Mira” “Wah lucu ya” Mira kecil begitu bahagia, papah membelikanya sebuah keyboard kecil untuk mainannya, memang papah cukup berandil juga dalam dunia musik dan dia seorang keyboardis. Umurnya terpaut beberapa tahun lebih muda dari ibu Mardiyah, tapi perhatiannya melebihi ayahnya yang berada dirumahnya. Seperti biasa mereka pergi lagi kesebuah hotel dan Mira kecil sangat menyukai roti bakar yang disediakan hotel setiap pagi. “Mira kalo udah gede sekolahnya harus dapet yang bagus ya” Bu Mardiyah dan papah tersenyum melihat Mia yang bermain – main dengan keyboard dan bonekanya. Beberapa hari mencari  akhirnya mereka tinggal bersama di sebuah perumahan. Mira cukup bahagia tinggal disana, Mira kecil mendapat dua orang teman baik yang mau mengajaknya bermain, Mira menikmati hari –harinya disana. Namun, ketika malam hari ia tetap selalu gelisah ketika tangan papah mencoba memeluknya dan bu Mardiyah. Disana mereka punya tetangga yang cukup baik, seorang ayah ibu dan anak perempuannya yang seumur dengan kakak Mira, panggil saja Tania. “Mira cantik ikut kakak jalan – jalan yu?” “Kemana ka?” “Kita ke mall” “Asik ayo mau” “Tapi Mira pake kacamata yah? Supaya keluarga Mira gak ada yang tau itu Mira” “Heuh? Iya ka” Mira kecil tercengang. Mira bahagia dengan lingkungan yang ramah dan membuatnya nyaman. Namun tragedy besar datang. Malam – malam sekali 3 hingga 4 mobil menjemput Mira dan bu Mardiyah, ternyata ada ayah Mira disana. Ketika sampai dirumah, Mira langsung dipeluk kakak perempuannya, dan terdengar suara ricuh diruang depan rumah. “Mira dari mana aja sayang, Mira baik – baik aja? Mira itu diculik sayang” Mira tercengang dengan kata – kata culik yang dikeluarkan kakaknya, Mira merasa selama beberapa bulan disana dia bahagia, dia baik – baik saja, bahkan mendapat teman bermain.
Masa – masa kebersamaan yang lekat berlalu begitu saja, bu Mardiyah kembali dengan rutinitasnya pulang -  pergi ke Jakarta, dan Mira kecil harus menahan diri untuk tidak terlalu merindukan ibunya. Terkadang Mira selalu diajak bu Mardiyah untuk bertemu dengan papah yang tentu kini sangat rahasia, papah selalu bertanya perkembangan Mira. Namun kali ini bu Mardiyah tampak serius berbicara pada papah “Boy, kamu cari wanita yang lain, yang bisa kamu jadikan istri, yang orang tuamu restui. Aku gak bisa kalau terus berhubungan begini denganmu. Aku sudah capek boy, sekarang kita jalani hidup kita masing – masing. Aku mau tidak mau harus kembali dengan suami dan anak – anakku, aku tidak mau terus berkonflik dengan keluargaku dan sudah cukup dengan pembicaraan orang” “IYa tapi ga semudah itu mencari pasangan lain, susah buat saya” “Sudahlah boy, mungkin ini yang terakhir kita ketemu, jalani hidup kita masing – masing”. Akhirnya papah pergi dengan raut wajah kecewa “Mira sayang, baik – baik ya, nanti jadi anak yang baik dan pinter kalo udah gede, jagain mamah” Mira tersenyum membalas pesan papah.
Pertemuan itu benar – benar menjadi sebuah pertemuan yang terakhir, bu Mardiyah harus kembali dengan keluarga dan suami yang sebenarnya tidak dia cintainya. Sesekali Mira selalu jadi sasaran marah ayah ketika dia teringat apa yang dilakukan bu Mardiyah dan papah. Mira hanya bisa bersedih dan ketakutan, beruntung Bang Dion dan Bang Ari selalu menemani dan mau menghibur Mira kecil ketika dia menangis dan ketakutan.
Hingga akhirnya Mira beranjak dewasa, dan selalu tak kuasa menahan tanda Tanya ketika dia teringat masa – masa dulu itu. Ketika bu Mardiyah duduk dikamar Mira menghampirinya dan bertanya dengan polosnya “Bu? Aku ini anak siapa?” serentak bu Mardiyah mengeluarkan air mata, dan berkata”Sudah jangan bertanya seperti itu, yang jelas Mira jangan kaya mama ya sayang” bu Mardiyah memeluk Mira, dan sepertinya Mira sudah cukup mengerti atas jawaban yang tersirat dari sang ibu.
“Mir, Mira!” panggilan bu Mardiyah membuyarkan lamunanya tadi, segera ia menghapus air mata dan datang menghampiri ibunya. “Mir tolong pasangin jarum, ibu gak keliatan” “Iya bu”. Setelah itu Mira bergegas masuk dan merapihkan kembali buku – bukunya, dalam hatinya ia berkata “Seburuk apapun yang dia lakukan dulu ya Tuhanku, aku amat menyayanginya, aku tidak mau kehilangan dan melihat ia sedih dan merasa terkekang, aku ingin suatu hari mampu membahagiakannya”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar