Minggu, 25 Desember 2011

Panorama palsu gadis belia

Malam itu aku melihat seorang wanita berjalan dengan tatapan kosong, lagi - lagi rasa penasaranku selalu membuatku ingin terus memandangnya. panggil saja Indah, untuk keindahan parasnya, lengkungan mancung hidungnya, dan mata kosong yang bulat dan berwarna coklat. ku dekati, dan ku tanya perlahan tentang apa yang ia alami. "aku juga gadis seusiamu, boleh aku tau permasalahan apa yang kau hadapi? cinta? atau kawan?" ku beranikan diri duduk disampingnya dan sedikit menoleh kearahnya. gadis itu menghela nafas dan tak sadar mengucurkan tetes demi tetes air matanya "aku baik - baik saja, jika kau lihat dari pakaianku dan keadaanku di masa sekarang" "lalu apa yang membuatmu penuh pilu seperti ini?" "sudah aku katakan, aku baik - baik saja, jika kau lihat dengan mata polosmu aku yang berada di depanmu sekarang, tapi sayangnya masa lalu dan masa depanku sungguh tidak baik - baik saja" gadis itu menelan ludah dan mencoba mengusap air matanya. "Boleh ku tau apa yang sebenarnya terjadi padamu?" "Aku mencintai seorang pria, dan aku tidak bisa membodohi diri, hingga saat ini aku masih tersenyum bila ingat masa - masa pertama aku mengenalnya, dan hingga hari ini aku tetap mencintainya" "lalu apa yang membuatmu sepilu ini jika kau bahagia dengan cintamu untuk pria itu?" "Aku bahagia bisa mencintainya dan bisa bersamanya, sampai - sampai aku lupa, menggadaikan segala cara untuk membeli kebahagiaan itu, dan sayangnya apa yang aku gadaikan tidak kembali dan pria itu sedikit demi sedikit mulai melangkah pergi". "Aku mengerti, sangat mengerti sekarang apa yang sebenarnya engkau alami" tuturku denga keyakinan mendalam, sembari ku ambil tissue dan tak segan memberikannya pada Indah. "Lalu apa yang akan kau lakukan untuk masa sekarang dan masa depanmu nanti?" gadis itu kembali menghela nafas, kebingungan, kesakitan, bahkan kemuakan sudah terpancar di paras cantiknya yang sudah memilu. "Aku harus bangkit, demi ibuku, demi apa yang telah aku jalani selama ini, ku anggap saja pria itu telah mati", "Lalu? apa kau tidak ingin hidup berdua?" "Tidak" gadis itu menundukan kepalanya "Aku ingin hidup sendiri dan memendam apa yang telah kualami bersama pria yang telah ku anggap mati" gadis itu mulai tersenyum dan menatapku dengan penuh pengertian. "Percayalah, kau tetap mendapat kasih sayang-Nya, anggap saja dia mati dan kau akan tau hidupmu lebih berarti daripada pria yang meninggalkan seorang gadis tanpa harga diri" Ia menghilang dan melambaikan tangan mulusnya, terima kasih Indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar